Jumat, 17 Maret 2023

PLAT BORDES

   Apakah kamu tahu tangga di jembatan penyeberangan orang yang biasa kita lewati terbuat dari besi jenis apa?



Source : Google image

Tentu tangga tersebut terbuat dari Plat besi, Plat merupakan sebuah material konstruksi yang berbentuk lembaran, pipih, dengan ukuran dan tekstur tertentu. Plat ini juga kerap memiliki fungsi yang berbeda-beda, tergantung pada bahan pembuatannya ada HRC atau Hot Rolled Coil, CRC atau Cold Rolled Coil, galvanis, galvanil, ataupun galvalum. Nah tangga penyebrangan atau biasa disebut PJU ini terbuat dari Plat Besi Bordes lohh, Plat Bordes adalah plat besi yang memiliki motif timbul yang biasanya disebut dengan motif cakar ayam. Kegunaan motif timbul pada plat tersebut adalah untuk memperbesar gesekan sehingga permukaan plat tidak licin dan mengurangi resiko tergelincir. Cocok bukan bila plat bordes digunakan sebagai tangga penyeberangan yang terletak di luar ruangan dan yang pasti tidak luput dari terpaan air hujan.

Apakah kamu tahu bahwa ternyata Plat Bordes memiliki ukuran berbeda-beda? Bisa disesuaikan dengan kebutuhan konstruksi lo. Ukuran Panjang x Lebar plat bordes yang sesuai SNI adalah 4ft x 8ft atau setara 121 x 244 dalam centimeter umumnya panjangnya dapat di pesan sesuai kebutuhan dari mulai 1 Meter hingga 6 Meter, plat bordes di Indonesia sendiri dijual dengan ketebalan antara 0.7mm hingga 9mm. Beratnya pun mengikuti ukuran dari plat tersebut ya..

Perlu kamu tahu  bahwa motif yang timbul pada plat bordes berbeda-beda lo, ini merupakan salah satunya, biasanya disebut dengan plat dengan motif 4 kembangan. Biasanya orang menyebutnya Plat Kembangan.


Source : Google image

Plat kembang ini lebih dipilih untuk desain interior, misalnya seperti keperluan lantai pijakan di mobil-mobil angkutan umum, hingga ada juga yang menjadikannya sebagai mix and match pada variasi dinding dan juga plafon pada bangunan. Jenis ini juga kerap ditemukan penggunaannya pada interior dapur dan kamar mandi dengan tema desain industrial. Namun walaupun berbeda, sebenarnya tujuan penggunaannya tetap sama, yaitu untuk menghindari kemungkinan terpeleset karena permukaan yang licin.
               Sedangkan motif Plat Bordes yang umum adalah motif X seperti garis horizontal dan vertikal yang saling bertemu, motif ini menjadi ciri khas dari plat bordes. Ketebalan yang sering digunakan sebagai alas JPU berkisar antara 2,3-3,0 mm, tetapi juga bisa melakukan pemesanan ukuran sesuai kebutuhan konstruksi, meskipun pasti ada tambahan biaya untuk custom ukuran yang tidak sesuai pasar biasanya ya.. biaya tersebut contohnya meliputi pemotongan bila ingin plat bordes dengan ukuran sesuai kebutuhan.


Source : Google image

Pengukuran plat bordes ini dilihat dari ketebalan sisi polosnya dan ketebalan sisi kembangnya, alat yang digunakan untuk mengukur ketebalan yaitu micrometer sekrup dan pengukuran lainnya yaitu lebar plat dan panjangnya, alat ukur yang digunakan untuk mengukur meteran rol/ meteran bangunan.
Nah.. sekarang udah mengenal salah satu produk plat besi kan, see u in another tulisanku ya semoga menambah wawasan teman-teman semua.





Kamis, 16 Maret 2023

Retensi Energi

Retensi Energi

Menurut Haryati dkk (2011) retensi energi adalah besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat disimpan dalam tubuh. Sukmaningrum dkk (2014) menyatakan energi dalam pakan secara fisiologis digunakan untuk pemeliharaan dan metabolisme, apabila terdapat sisa akan dideposisi sebagai jaringan tubuh dalam proses pertumbuhan dan untuk sintesa produk reproduksi. Kalori bisa juga diartikan sebagai satuan unit yang digunakan untuk mengukur nilai tenaga atau energi, kandungan kalori di dalam suatu makanan bergantung pada kandungan karbohidrat, protein, dan lemak pada makanan itu sendiri (Lestari et al.,2016). 

Sebagaimana halnya pada hewan-hewan lain yang bersifat heterotrof, ikan membutuhkan energi baik untuk proses perawatan tubuh (maintenance), maupun untuk aktivitas fisik, tumbuh , dan bereproduksi. Energi yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan tersebut beasal dari makanan yang dikonsumsi. Adanya fluktuasi dalam ketersediaan makanan, kondisi perairan (suhu, salinitas, dan oksigen terlarut(DO) ) dan kondisi ikan berpengaruh terhadapbesarnya energi yang dikonsumsi oleh seekor ikan. Sehingga energi yang dikonsumsi tersebut dapat lebih besar atau lebih kecl daripada energi yang dibelanjakan, hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan energi tubuh (Putra, 2015). 

Penggunaan energi pada ikan dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi. Energi diperoleh dari perombakan ikatan kimia melalui proses reaksi oksidasi terhadap komponen pakan, yaitu protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana (asam amino, asam lemak dan glukosa) sehingga dapat diserap oleh tubuh untuk digunakan atau disimpan (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Menurut Webster dan Lim (2002), metabolisme adalah perubahan atau semua transformasi kimiawi dan energi yang terjadi di dalam tubuh. Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme. Anabolisme adalah proses sintesis senyawa kimia kecil menjadi besar menjadi molekul yang lebih besar, misalnya asam amino menjadi protein, sedangkan Katabolisme adalah proses penguraian molekul besar menjadi molekul kecil, misalnya glikogen menjadi glukosa. Selain itu, proses anabolisme adalah suatu proses yang membutuhkan energi, sedangkan katabolisme melepaskan energi. Meskipun anabolisme dan katabolisme saling bertentangan, namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena seringkali hasil dari anabolisme merupakan senyawa pemula untuk proses katabolisme (Putra, 2015).


Source : idschool.net

Daftar Pustaka

Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius : Yogyakarta. Hal 9-77.

Haryati, Zainuddin dan D. S. Putri. 2011. Pengaruh Tingkat Subtitusi Tepung Ikan Dengan tepung Maggot Terhadap Komposisi Kimia Pakan dan Tubuh Ikan bandeng (Chanos chanos Forsskal). Laboratorium Bioteknologi LIPI. Bogor. 14 hal.

Putra, A. N. 2015. Laju Metabolisme Pada Ikan Nila Berdasarkan Pengukuran Tingkat Konsumsi Oksigen. Jurnal Perikanan dan Kelautan. 5 (1): 13-18.

Sukmaningrum, S., N. Setyaningrum, A.E. Pulungsari. 2014. Retensi Protein dan Retensi Energi Ikan Cupang Plakat yang Mengalami Pemuasaan. Fakultas Biologi, Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto.

Webster, C. D., and C.E. Lim. 2002. Nutrient Requirements and Feeding of Finfish for Aquaculture. CABI Publishing, New York.


Jumat, 23 September 2022

Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus)

Klasifikasi ikan patin siam menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas               : Pisces

Famili              : Pangasidae

Genus              : Pangasius

Spesies            : Pangasius hypophthalmus

Ikan patin siam mempunyai bentuk tubuh memanjang berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiruan. Ikan patin tidak memiliki sisik, sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang besar dan bergaris dibelakangnya, sedangkan jari-jari lunak pada sirip punggungnya terdapat 6-7 buah (Kordi, 2005). Permukaan punggung ikan patin terdapat sirip yang ukurannya kecil. Sirip dubur memiliki 30-33 jari-jari lunak, sirip perut ikan patin terdapat 6 jari-jari lunak, sirip dada terdapat satu jari-jari keras dan 12-13 jari-jari lunak, dan sirip ekor berbentuk simetris (Ghufron, 2005). Tubuh ikan ini memiliki panjang hingga mencapai 120 cm, bentuk kepala yang relatif kecil, mulut terletak di ujung kepala bagian bawah, pada kedua sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis yang berfungsi sebagai alat peraba yang merupakan ciri khas ikan golongan catfish, dan memiliki sirip ekor berbentuk cagak dan simetris (Djariah, 2001). Morfologi ikan patin dapat dilihat pada gambar.

Gambar Morfologi Ikan Patin

(Sumber : Standart Nasional Indonesia, 2000)

Keterangan :

a.       Mulut                                       e.  Sirip punggung (dorsal fin)

b.      Mata                                         f.  Sirip perut (ventral fin)

c.       Tutup insang (operculum)        g.  Sirip anus (anal fin)

d.      Sirip dada (pectoral fin)            h.  Sirip ekor (caudal fin) 

    Habitat dan Penyebaran

        Ikan patin merupakan ikan air tawar yang hidup di sungai dan muara sungai serta danau yang mampu bertahan pada lingkungan perairan yang jelek, misalnya kekurangan oksigen. Ikan patin dikenal sebagai hewan nokturnal, yaitu hewan yang aktif pada malam hari dan sebagai hewan dasar yang suka bersembunyi di liang-liang tepi sungai (Ghufron, 2005). Suhu air yang optimum untuk selera makan ikan antara 22-29˚C, pada suhu tersebut ikan akan makan dengan rakus, hal ini terjadi pada waktu pagi hari dan sore hari. Oleh karena itu pemberian makan yang paling baik adalah pagi hari dan sore hari (Handayani & Nofyan 2015) dan pH yang ideal dimana ikan patin akan mengalami pertumbuhan yang optimum berkisar antara 6,5-9,0 (Adriyanto dkk. 2012). Menurut Legendre et al., (2000) konsentrasi oksigen terlarut di atas 3 mg.L-1 masih termasuk dalam batas toleransi ikan patin. Ogbonna and Amajuoyo (2010), menyatakan bahwa kandungan ammonia sebesar 0,6 mg/liter sudah berbahaya bagi organisme perairan.

Penyebaran ikan patin meliputi berbagai negara diantaranya adalah Thailand, Pakistan, Myanmar, Bangladesh, Malaya-peninsula, Laos, India, Vietnam, dan Indonesia (Chondar, 1999). Di Indonesia, patin terdapat di sungai dan danau-danau di pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa (Djarijah, 2001). Umumnya, ikan ini ditemukan di lokasi-lokasi tertentu di bagian sungai, seperti lubuk (lembah sungai) yang dalam.

    Kebiasaan Makan      

        Ikan patin merupakan ikan omnivora yang cenderung karnivora. Ikan patin pada fase larva yang dipelihara di kolam pemeliharaan bersifat omnivora, yaitu memakan segala macam pakan baik jasad-jasad hewani maupun nabati sedangkan ikan patin apabila di perairan bebas dan alam cenderung bersifat karnivora (Cholik et al., 2005)
        Ikan patin sangat tanggap terhadap pakan buatan hal ini dibuktikan pada penelitian Arifin (1993) bahwa ikan patin yang dipelihara di jaring apung responsif apabila diberikan pakan.  Pada proses budidaya dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40 cm.

    Kebutuhan Nutrisi Ikan Patin

         Ikan patin siam (Pangasius hypophthalmus) adalah spesies ikan air tawar dari famili Pangasidae dan merupakan salah satu spesies ikan yang memiliki nilai ekonomis untuk dibudidayakan. Tercatat pada tahun 2011, produksi ikan patin di Indonesia mencapai 229.267 ton dengan kontribusi 16,11% dari produksi patin dunia (FAO, 2013). Ikan patin siam memiliki keunggulan tidak memiliki banyak duri, fekunditas dan sintasannya tinggi, dapat diproduksi secara massal dan memiliki peluang pengembangan skala industri. Dengan keunggulan tersebut ikan ini menjadi salah satu komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, baik dalam segmen usaha pembenihan maupun usaha pembesarannya (Tahapari dkk, 2008). Peningkatan produksi ikan patin melalui kegiatan budidaya diperlukan input produksi yang juga meningkat, salah satunya adalah pakan.
            Kebutuhan nutrisi ikan sangat penting untuk proses tumbuh kembang ikan itu sendiri, nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan diantaranya protein, karbohidrat, dan lemak (Putri dkk., 2012). Protein adalah kompleks yang terdiri dari asam amino esensial dan non esensial (Andriyani dkk., 2014) yang berfungsi untuk pertumbuhan ikan. Protein dapat digunakan untuk pertumbuhan jika kandungan lemak dan karbohidrat seimbang, karena jika tidak maka protein tersebut lebih banyak digunakan untuk energi dibandingkan untuk pertumbuhan (Poernomo dkk. 2015). Catfish membutuhkan kandungan protein dalam pakan sekitar 25 – 50% tergantung ukuran ikan, suhu perairan, jumlah energi non protein pada pakan, kualitas protein dan manajemen pakan (Robinson et al., 2001), sedangkan menurut NRC (2011) kebutuhan protein untuk Channel catfish yaitu 28-40%. Berdasarkan SNI (2000), kebutuhan protein pada ikan patin minimal 28%.  Karbohidrat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan energi dan persediaan makanan dalam tubuh (Suarez et al., 2002). Sedangkan lemak berfungsi sebagai pemasok energi bagi tubuh. Sebagian besar ikan air tawar membutuhkan lemak 4% - 8%. (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Serat kasar yang tinggi akan mengakibatkan semakin sulitnya ikan dalam mencerna pakan (Bakara, dkk. 2012). Pada umumnya, Ikan karnivora dapat mentoleransi serat kasar pada pakan maksimal 4% sedangkan ikan herbivora maksimal 8% (Priskila, 2010).
        Pakan dengan kadar protein 30% dan lemak 12% untuk benih ikan patin ukuran 3g dapat menghasilkan laju pertumbuhan sebesar 2,06% /hari dan menghasilkan ikan dengan kandungan protein tubuh 12,03%, lemak 5,22% dan air 75,63% (Phumee et al., 2009). Pakan dengan kandungan protein 45,3% dan lemak 9% untuk ikan patin ukuran 5g dapat menghasilkan laju pertumbuhan 4,19% /hari dan menghasilkan ikan dengan kandungan protein tubuh 14,6%, lemak 6,3%, dan air 75,9% (Liu et al., 2011). Pakan dengan kadar protein 36,1% dan lemak 5,8% yang diberikan pada ikan patin ukuran 7,69g menghasilkan laju pertumbuhan 4,0% /hari (Hung et al., 2004).


    Daftar Pustaka

Afrianto, E., dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius : Yogyakarta. Hal 9-77.

Andriyani, H., E. Widyatusti dan D. S. Wisyartini. 2014. Kelimpahan Chlorophyta Pada Media Budidaya Ikan Nila yang Diberi Pakan Fermentasi Dengan Penambahan Tepung Kulit Ubi Kayu dan Probiotik. Scripta Biologica, 1 (1): 49-54.

Bakara,O., L. Santoso. dan D. Heptarina. 2012. Enzim Manase dan Fermentasi Jamur untuk Meningkatkan Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit pada Pakan Ikan Nila Best (Oreochromis niloticus). Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan. Hal 1.

BSN., 2000. SNI 01-6483.2-2000 Benih ikan patin siam (Pangasius hypopthalmus) kelas benih sebar. Badan Standarisasi Nasional.

Cholik,F., A. G. Jagatraya., R. P. Poernomo dan A. Jauzi. 2005. Akuakultur : Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. Masyarakat Perikanan Nusantara Kerjasama dengan Taman Akuarium Air Tawar. Jakarta. 415 hal.

Chondar SL.1999. Biology of Finfish and Shellfish. SCSC Publishers, India.

Djarijah, A. S, 2001. Pembenihan Patin. Kanisius. Yogyakarta.

Food and Agriculture Organization (FAO). 2013. Milk and Dairy Products in Human Nutrition. Rome: Food and Agriculture Organization of The United Nations. 45-70.

Ghufron, K.K. 2005. Budidaya Ikan Patin. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

Handayani I, E Nofyan. 2015. Optimasi tingkat pemberian pakan bautan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan patin jambal (Pangasius djambal). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia, 2(2): 175-187.

Hung LT, Suhenda N, Slembrouck J, Lazard J, Moreau Y. 2004. Comparison of dietary protein and energy utilization in three Asian catfish Pangasius bocourty, P. hypophthalmus and P. djambal. Aquaculture Nutrition 10: 317–326.

Kordi, M. G. H. 2005. Budidaya Ikan Patin : Biologi, Pembenihan dan Pembesaran. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

Liu . X. Y, Wang Y, J.I WX. 2011. Growth, feed utilization and body consumption of Asian catfish Pangasius hypopthalamus feed at different dietary protein and lipid levels. Aquaculture Nutrition 11: 578–584.

National Research Council [NRC]. 2011. Nutrient Requirements of Fish National Academy Press, Washington, DC: NRC.

Ogbonna, J. and A. Chinomso. 2010. Determination of the concentration of ammonia that could have lethal effect on fishpond. Journal of Engineering and Applied Sciences: 5(2) :1-5.

Phumee P, Hashim R, Aliyu-Paiko M, ShuChien AC. 2009. Effects of dietary protein and lipid content on growth performance and biological indices of iridescent shark Pangasius hypophthalmus, Sauvage 1878 fry. Aquaculture Research 40: 456–463.

Poernomo, N., N. B. P. Utomo., dan Z. I. Azwar. 2015. Pertumbuhan dan Kualitas Daging Ikan Patin Siam yang Diberi Kadar Protein Pakan Berbeda.Jurnal Akuakultur Indonesia 14(2), 104-111. 

Priskila, F. 2007. Pengaruh Penggunaan Kombucha terhadap Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar pada Fermentasi Daun Talas (Colocosia esculenta). Skripsi. Program Studi S1 Budidaya Perairan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. 55 hal.

Putri,D.R., Agustono., dan S. Subekti. 2012. Kandungan Bahan Kering, Serat Kasar, dan Protein Kasar pada Daun Lamtoro (Leucema glauca) yang Difermentasi dengan Probiotik Sebagai Bahan Pakan Ikan. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 4 (2) : 161-167.

Robinson, E. H., Li, M. H.,and Manning, B. B. 2001. Evaluation of corn gluten feed as a dietary ingredient for pond raised channel catfish Ictalurus punctatus. J. World Aquacult. Soc., 32 (1): 68-71.

Saanin, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Volume I dan II. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Suarez, M.D., A Sanz, J. Bazoco, & M.G. Gallego. 2002. Metabolic Effects of Changes in the Dietary Protein: Carbohydrate Ratio in Eel (Angilla anguilla) and Trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture International. 10(3): 143–156.

Tahapari, E. dan Arianto, D. dan Gunadi, B. 2008. Optimasi pemberian pakan buatan pada pendederan ikan patin (Pangasius hypophthalmus). Jurnal perikanan.

Jumat, 22 November 2019

Chlorella sp.


         1. Klasifikasi dan Morfologi

Menurut Bold dan Wynne (1985) klasifikasi Chlorella sp. adalah :
Divisi               : Chlorophyta
Classis             : Chlorophyceae
Ordo                : Chlorococcales
Familia            : Oocystaceae
Genus              : Chlorella
Species            : Chlorella vulgaris
                          Chlorella pyrenidosa


Sel Chlorella sp. mempunyai protoplasma yang berbentuk cawan dan tidak mempunyai flagella sehingga tidak dapat bergerak aktif, warna hijau pada Chlorella sp. karena selnya mengandung klorofil a dan b dalam jumlah yang besar, dinding selnya terdiri dari selulosa dan pectin, setiap selnya terdapat sebuah inti sel dan satu kloroplas (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Selnya berbentuk bola. Sel Chlorella sp. Berbentuk bulat lonjong (ellipsoidal) dengan garis tengah sel antara 2-8 , dapat bergerak tetapi sangat lambat sehingga pada pengamatan seakan-akan tidak bergerak. (Ekawati, 2009).

2. Habitat
Chlorella sp. adalah fitoplankton yang sering dijumpai di perairan umum, baik itu perairan tawar maupun perairan laut (Wigajatri dkk., 2003). Sifat kosmopolitan Chlorella sp. mampu hidup di mana-mana kecuali di tempat yang sangat kritis bagi kehidupanya. Chlorella sp. air tawar dapat hidup dengan kadar salinitas hingga 5 ppt,contohnya adalah Chlorella vulgaris, Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan lain-lain (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Chlorella sp. hidup secara berkoloni dengan jumlah besar (Pratama, 2011). Mikroalga jenis ini biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang lembab atau benda-benda yang sering terkena air dan banyak hidup pada lingkungan berair di permukaan bumi. Chlorella sp. merupakan alga yang kosmopolit, terdapat di air payau, air laut dan air tawar (Ekawati, 2009).

3. Reproduksi
Alga ini berproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan pemisahan autospora dari sel induknya. Reproduksi sel ini diawali dengan pertumbuhan sel yang membesar. Periode selanjutnya adalah terjadinya peningkatan aktivitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan sel anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap selanjutnya terbentuk sel induk muda yang merupakan tingkat pemasakan akhir, yang akan disusul dengan pelepasan sel anak. Selnya bereproduksi dengan membentuk dua sampai delapan sel anak didalam sel induk. (Mirojiah, 2013).
Sel Chlorella sp. memiliki tingkat reproduksi yang tinggi, setiap sel Chlorella sp. mampu berkembang menjadi 10.000 sel dalam waktu 24 jam. Tiap satu sel induk (parent cel) akan membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel anak (daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Kawaroe, 2010). 

4. Fase Pertumbuhan 
Chlorella sp. mempunyai waktu generasi yang sangat cepat. Oleh karena itu dalam waktu yang relatif singkat, pertumbuhan sel akan terjadi secara cepat, terutama jika cahaya dan sumber energi tersedia dalam jumlah yang cukup. Menurut Pratama (2011) pola pertumbuhan berdasarkan jumlah sel dapat dikelompokkan menjadi lima fase yaitu, fase tunda (lag phase), fase pertumbuhan logaritmik (log phase), fase penurunan laju pertumbuhan, fase stationer dan fase kematian.
Kurva Pertumbuhan Chlorella sp.  (Wirosaputro, 2002)
           Fase tunda adalah suatu tahap setelah pemberian inokulum ke dalam media kultur dimana terjadi penundaan pertumbuhan yang dikarenakan Chlorella sp. memerlukan pembelahan, tidak terjadi pertambahan jumlah sel. Fase ini adalah fase penyesuaian yaitu suatu masa ketika sel-sel kekurangan metabolit dan enzim akibat dari keadaan tidak menguntungkan dalam pembiakan terdahulu, menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Enzim-enzim dan zat antara terbentuk dan terkumpul sampai konsentrasi yang cukup untuk kelanjutan pertumbuhan (Pratama, 2011).
       Fase pertumbuhan logaritmik (log phase) sel-sel membelah dengan cepat dan terjadi pertambahan dalam jumlah sel. Selama fase ini, sel-sel berada dalam keadaan yang stabil. Bahan sel baru terbentuk dengan konstan tetapi bahan-bahan baru itu bersifat katalitik dan massa bertambah secara eksponensial (Pratama, 2011). Pembelahan sel dimulai dan laju pertumbuhan meningkat secara intensif. Bila kondisi kultur optimum maka laju pertumbuhan pada fase ini dapat mencapai nilai maksimal dan pola laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan kurva logaritmik. Pada fase ini merupakan fase terbaik untuk memanen mikroalga untuk keperluan pakan ikan atau industri. Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 4-6 hari atau bisa tergantung media yang digunakan (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
          Fase penurunan laju pertumbuhan tetap terjadi pertambahan sel namun laju pertumbuhannya menurun. Hal ini dikarenakan terjadinya kompetisi yang sangat tinggi di dalam media hidup karena zat makanan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah populasi akiat dari pertambahan yang sangat cepat pada fase eksponensial sehingga hanya sebagian dari populasi yang mendapatkan makanan yang cukup dan dapat tumbuh serta membelah (Pratama, 2011).
          Fase stasioner adalah fase pemberhentian pertumbuhan. Pada fase ini, jumlah sel kurang lebih tetap. Hal ini disebabkan oleh habisnya nutrisi dalam medium atau karena menumpuknya hasil metabolisme yang beracun sehingga mengakibatkan pertumbuhan berhenti. Dalam kebanyakan kasus, pergantian sel terjadi dalam fase stasioner, dimana adanya kehilangan sel yang lambat karena kematian yang diimbangi dengan pembentukan sel-sel yang baru melalui pembelahan. Bila hal ini terjadi, maka jumlah sel akan bertambah secara lambat, meskipun jumlah sel hidup tetap (Pratama, 2011).
          Fase kematian, jumlah populasi ini menurun. Selama fase ini, jumlah sel yang mati per satuan waktu secara perlahan-lahan bertambah dan akhirnya kecepatan sel-sel yang mati menjadi konstan (Pratama, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Bold,H.C., Wynne,M.J. 1985. Introduction to the Algae, Structur and Reproduction. New York: Englewood Cliftts. Pretince Hall Inc. 720 hal.
Ekawati, A.W.2005. Diktat Kuliah Budidaya Pakan Alami. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya : Malang.
Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995, Teknik kultur phytoplankton zooplankton. pakan alami untuk pembenihan organisme laut. Kanisius. Yogyakarta. 116 hlm.
Kawaroe. 2010.Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar.Intitut Teknologi Bandung.Bandung.
Mirojiah, Mety. 2013. Klasifikasi Mikroalga Menurut Filumnya.diakes pada tanggal 2 November 2018.
Pratama, I. 2011. Pengaruh Metode Pemanenan Mikroalga Terhadap Biomassa Dan Kandungan Esensial Chlorella vulgaris. (Skripsi). Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Jakarta.
Wigajatri R.P, Handojo, A., Kurniawan, H., dan Prihantini, N. B. 2003. Studi Karakteristik Fluoresensi Chlorella Sp : Pengaruh pH Terhadap Pengkulturan. Jurnal Makara, Teknologi, VOL. 7, NO. 2, Agustus 2003 STUDI, 7(2), 83–88.
Wirosaputro,S. 2002. Chlorella sp. Untuk Kesehatan Global Teknik Budidaya dan Pengolahan Buku II. Gajah Mada University Press. Yogayakarta.